KARUT-MARUT pengadaan barang melalui mekanisme lelang sudah biasa kita dengar. Namun, entah mengapa masih banyak orang yang berpikir bahwa tender adalah satu-satunya cara untuk menyelenggarakan pengadaan barang bagi pemerintah atau badan-badan usaha miliknya. Selain ruwet dan mahal, pengadaan barang bisa mengabaikan hak rakyat untuk berpartisipasi.
Tanpa mentalitas menerobos yang sehat, bisakah kita atasi? Ketika Garuda Indonesia baru pindah kantor dari Jalan Merdeka Selatan ke kawasan bandara di Cengkareng, global distribution system (GDS) yang menghubungkan Garuda dengan agen-agen penjualan tiket masih ada di lokasi lama. Anda tahu listrik di Jakarta sering mati, bahkan beberapa hari.
Ketika PLN mengumumkan listrik padam selama dua hari, Garuda melihat pemberitahuan itu sebagai bencana. Tanpa GDS, Garuda tidak bisa menjual tiket melalui para agen. Lalu, apa solusinya? Di banyak perusahaan swasta, mudah saja: beli genset. Tapi, di Garuda tak bisa begitu. Sebagai BUMN, Garuda harus ikut Peraturan Menteri BUMN Nomor 05 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa BUMN.
Peraturan itu turunan dari Keppres 80/2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Prosedurnya panjang, dimulai dari staf GDS mengajukan usul tertulis ke bagian pengadaan, lengkap dengan alasannya. Lalu, bagian pengadaan memprosesnya, mengumumkan secara terbuka beberapa hari, kemudian peserta tender mengajukan penawaran.
Dokumen dipelajari, lalu diputuskan perusahaan siapa pemenangnya. Intinya, proses tersebut butuh berhari-hari. Bahkan bisa lebih dari sebulan. Untungnya, Garuda tidak ”segila” itu. Pengadaan genset selesai dalam waktu dua jam! Bayangkan jika sampai seminggu lebih, berapa kerugian mereka. Sebab, selama listrik mati, Garuda tak bisa menjual tiket. Lalu, ketika genset tiba, listrik PLN mungkin sudah hidup lagi dan genset pun akhirnya malah menjadi penghuni gudang.
Dikendalikan Prosedur
Pengadaan barang/jasa di lingkungan pemerintahan dan BUMN memang menjadi sarang KKN. Untuk memangkasnya, pemerintah menerbitkan Keppres 80/2003. Tetapi, ternyata aturan di keppres ini sangat ketat. Akibatnya, Anda mungkin masih ingat, realisasi penyerapan anggaran pemerintah, baik di pusat maupun daerah, anjlok. Banyak pejabat pembuat komitmen dan pimpinan proyek yang takut menandatangani kontrak karena menyalahi prosedur.
Meski tidak menerima suap atau melakukan kolusi dan korupsi, mereka bisa kena jerat pasal-pasal pidana. Rendahnya penyerapan anggaran akhirnya berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional. Kita mencatat, selama 2005 dan 2006, pemerintah menargetkan angka pertumbuhan ekonomi 6,1 dan 6,2 persen, tapi realisasinya hanya 5,6 dan 5,5 persen.
Alhasil, ketaatan terhadap prosedur menjadi sesuatu yang utama. Pokoknya ikuti prosedur, tak peduli selambat apapun prosesnya atau seburuk apapun hasilnya. Saya pernah mengalaminya ketika diminta memimpin institusi pemerintahan. Ketika itu, untuk mendapatkan suatu jasa, saya mengontak langsung pihak-pihak yang sudah saya kenal baik.
Hasilnya, saya mendapatkan harga terbaik dalam waktu yang lebih singkat. Namun, semuanya mentah lagi karena cara-cara saya dianggap tidak sesuai dengan Keppres 80/2003. Semua harus diulang sehingga prosesnya menjadi lama dan harga yang kami peroleh pun bukan yang terbaik.
Kesempatan dan Pelatihan
Meski prosedur tender kaku dan ketat, tetap saja masih banyak pihak yang bisa mengakali. Pada masa lalu kita mengenal istilah arisan tender, yakni tender yang pemenangnya sudah diatur. Penerapan tender online membuat arisan tender menjadi lebih sulit. Meski begitu, tetap bisa diakali. Bekerja sama dengan panitia tender, mereka mengarahkan spesifikasi atau kriteria barang/jasa yang sesuai dengan milik para pemasok.
Fenomena ini, misalnya, diduga terjadi pada tender bus Transjakarta. Aksi main mata begini jelas menyulitkan pengusaha lokal yang berskala UMKM. Untuk membangun gedung SD saja, mereka tak bisa karena dokumennya ribet. Materi semacam itulah yang menjadi bahasan Rembuk Rakyat antara Joint Operating Body Pertamina Petrochina East Java (JOB PPEJ) dan para stakeholder-nya Rabu pekan lalu di Surabaya.
Saya menangkap, JOB PPEJ sebenarnya ingin melibatkan sebanyak-banyaknya warga sekitar, baik sebagai karyawan maupun pemasok. Ini lebih menguntungkan karena mereka tak perlu mencari tenaga dan barang dari luar Jawa Timur. Warga sekitar tentu senang menjadi pekerja maupun pemasok. Hidup menjadi lebih baik, hubungan sosial juga. Namun, aturan mesti dipatuhi. Sepanjang menyangkut SDM, saya paham.
Bisnis migas memang padat teknologi sehingga perlu tenaga kerja dengan kualifikasi tertentu. Namun, peluang untuk menjadi pemasok mestinya terbuka bagi pengusaha lokal, termasuk yang berskala UMKM. Apalagi, pemerintah juga terus menaikkan aturan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) di industri migas dari semula 43 persen (2006) menjadi 65 persen untuk tahun ini.
Saya meyakini, dengan terus naiknya angka TKDN, pasti ada peluang bagi pengusaha lokal. Problemnya, saya lihat, adalah soal teknis administratif. Misalnya, tender harus online, pesertanya wajib memiliki NPWP, dan pembukuan sudah diaudit. Bagi para pebisnis lokal, persyaratan itu menjadi hal baru. Masih banyak di antara mereka yang belum tahu tender online dan tidak memiliki pembukuan yang tertib, apalagi diaudit.
Namun, saya yakin, jika diberi kesempatan, apalagi jika ditambah pendampingan yang sehat, para pemasok skala UMKM di sana akan mampu memenuhi persyaratan JOB PPEJ. Saya kira kesempatan dan pelatihan harus diberikan. Jika tidak, yang akan jadi pemasok JOB PPEJ hanya pengusaha-pengusaha dari kota, bahkan dari Jakarta.
Kalau ini terjadi, saya khawatir akan memicu banyak masalah sosial. Kita semua tentu tak ingin hal itu terjadi. Atau pilihan lain, jangan salahkan kalau makin banyak yang harus mengambil langkah terobosan, yang bagi saya ”sehat” (karena mengutamakan prioritas), namun ”tidak” bagi penegak hukum.(jpnn/che/k7)
sumber: jpnn